Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak,
beragam dan amat bernilai. Dalam menghadapi dunia global yang membawa
pengaruh materalisme dan pragmatisme, kehadiran kesenian tradisional
dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan, agar kita tidak
terjebak pada moralitas asing yang bertentangan dengan moralitas lokal
atau jati diri bangsa.
Kita sebagai orang asli Madura harus mengenal budaya Madura
yang masih hidup, bahkan yang akan dan telah punah. Pengenalan terhadap
berbagai macam kebudayaan Madura tersebut akan diharapkan mampu
menggugah rasa kebangsaan kita akan kesenian daerah.
Madura dikenal sebagai wilayah yang tandus namun kaya akan
kebudayaan. Kekayaan budaya yang terdapat di Madura dibangun dari
berbagai unsur budaya baik dari pengaruh animisme, Hinduisme dan Islam.
Perkawinan dari ketiga unsur tersebut sangat dominan mewamai kebudayaan
yang ada. Dalam perkembangannya berbagai kesenian yang benafaskan
religius, terutama bernuansa Islami temyata lebih menonjol.
Keanekaragaman dan berbagai bentuk seni budaya tradisional yang
ada di Madura menunjukkan betapa tinggi budaya yang dimiliki oleh Bangsa
Indonesia. Kekayaan seni tradisional yang berisi nilai-nilai adiluhur
yang berlandaskan nilai religius Islami seharusnya dilestarikan dan
diperkenalkan kepada generasi muda sebagai penerus warisan bangsa.
Kesenian tradisional adalah aset kekayaan budaya lokal yang
akan mampu melindungi generasi muda dari pengaruh negatif era
globalisasi. Pengaruh budaya global yang demikian gencar melalui media
elektronik dan media cetak menyebabkan generasi muda kehilangan jati
diri. Dengan mengetahui kebudayaan lokal diharapkan generasi muda mampu
menggali potensi kekayaaan seni tradisional sekaligus melestarikannya.
Secara garis besar jenis-jenis kebudayaan tradisional Madura
dapat dibagi dalam empat kelompok dan dari masing-masing kelompok
tersebut mempunyai tujuan maupun fungsi yang berbeda, adapun jenis-jenis
kebudayaan tradisional tersebut adalah:
Pertama, seni musik atau seni suara yaitu tembang macapat, musik
saronen dan musik ghul-ghul. Tembang macapat adalah tembang (nyanyian)
yang mula-mula dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT (pujian
keagamaan) di surau-surau sebelum dilaksanakan shalat wajib, tembang
tersebut penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan jiwa. Selain berisi
puji-pujian tembang tersebut juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan
untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi
kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat kebenaran serta
membentuk manusia berkepribadian dan berbudaya. Melalui tembang ini
setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna
hidup. Syair tembang macapat merupakan manivestasi hubungan manusia
dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam
Semesta. Contoh tembang macapat:
Mara kacong ajar onggu, kapenterran mara sare,
Ajari elmo
agama, elmo kadunnya‘an pole,
Sala settongnga pabidda, ajari bi'
onggu ate.
Nyare elmo patar onggu,
Sala settong ja' paceccer,
Elmo kadunnyaan reya,
Menangka sangona odhi
Dineng eimo agama,
menangka sangona mate.
Paccowan kenga‘e kacong, bajangnga je'
ella‘e,
Sa‘are samalem coma,
Salat wajib lema kale,
Badha
pole salat sonnat, rawatib ban salat lain (anggoyudo, 1983)
Seni musik atau seni suara selanjutnya adalah musik Saronen.
Beberapa atraksi kesenian Madura pengiring instrumen musiknya adalah
saronen. Musik ini adalah musik yang sangat kompleks dan serbaguna yang
mampu menghadirkan nuansa sesuai dengan kepentingannya. Walaupun musik
saronen adalah perpaduan dari beberapa alat musik, namun yang paling
dominan adalah liuk-liukan alat tiup berupa kerucut sebagai alat musik
utama, alat musik tersebut bernama saronen.
Musik saronen berasal dari desa Sendang Kecamatan Pragaan Kabupaten
Sumenep yang berasal dari kata senninan (hari senin)
Suku Madura terkenal sebagai suku berwatak keras, polos, terbuka dan
hangat, sehingga jenis musik riang dan ber irama mars menjadi pilihan
yang paling pas. Untuk mengiringi kerapan sapi dimain kan irama sarka
yaitu permainan musik yang cepat dan dinamis, sedangkan irama lorongan
jhalan (irama sedang) dimainkan pada saat dalam perjalanan menuju lokasi
kerapan sapi. Irama lorongan toju’ biasanya memainkan lagu-lagu gending
yang ber irama lembut, biasanya digunakan untuk mengiringi pengantin
keluar dan pintu gerbang menuju pintu pelaminan.
Jenis seni musik atau sent suara selan jutnya adalah musik ghul-ghul
yaitu didominasi oleh gendang (ghul-ghul). Namun dalam perkembangannya
permainan musik ini memasukkan alat musik lainnya, baik alat musik tiup
maupun alat musik pukul. Ciri spesifik dari alat musik ini adalah
terletak pada model gendang yang menggelem bung besar di bagian tengah.
Musik ghul-ghul ini diciptakan untuk mengiringi merpati ketika sedang
terbang. Iringan musik ini dipakai sebagai sarana hiburan bagi
organisasi (perkumpulan) “dara gettak” , ketika membentak kemudian
merpati dilepas ke udara, musik ini ditujukan untuk menyemarak kan
suasana, musik ghul-ghul ini berasal dari desa Lenteng Timur Kecamatan
Lenteng Kabupaten Sumenep.
Kedua, sent tari atau gerak
yaitu tan muang sangkal dan tari duplang. Gerakan tari tradisional
Madura tidak pemah terlepas dari kata-kata yang tertera dalam Al-Quran
seperti kata Allahu atau Muhammad, begitu pula dengan batas-batas
gerakan tangan tidak pemah melebihi batas payudara. Tari muang sangkal
adalah sent tradisi yang bertahan sampai sekarang, Tari tersebut telah
mengalami berbagai perubahan yaitu menjadi tarian wajib untuk menyambut
tamu-tamu yang datang ke Sumenep. Sedangkan Tari duplang meru pakan tari
yang spesifik, unik dan langka.
Keunikan dari tarian ini disebabkan karena tarian ini merupa kan
sebuah penggambaran prosesi yang utuh dari kehidupan seorang wanita
desa. Wanita yang bekerja keras sebagai petani yang selama ini
terlupakan. Dijalin dan dirangkai dalam gerakan-gerakan yang sangat
indah, lemah-lembut, dan lemah gemulai. Tarian ini diciptakan oleh
seorang penari keraton bernama Nyi Raisa. Generasi terakhir yang mampu
menguasai tarian ini adalah Nyi Suratmi, dan tarian ini jarang
dipentaskan setelah adanya pergantian sistem pemerintahan, peralihan
dari sistem raja ke bupati. Sejak saat itu tarian ini jarang
dipentaskan. Karena tingkat kesulitannya yang sangat tinggi, sehingga
banyak penari segan untuk mempelajarinya, maka tidak mengherankan
apabila tarian duplang kini tidak dikenal dan diingat lagi oleh
seniman-seniman tari generasi berikutnya. Dengan demikian tarian ini
benar-benar punah.
Ketiga, upacara ritual yaitu Sandhur
Pantel. Masyarakat petani atau masyarakat nelayan tradisional Madura
menggunakan upacara ritual sebagai sarana berhubungan dengan mahluk gaib
atau media komunikasi dengan Dzat tunggal, pencipta alam semesta.
Setiap melakukan upacara ritual media kesenian menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari seluruh proses kegiatan. Masyarakat Madura
menyebutnya sandhur atau dhamong ghardham, yaitu ritus yang ditarikan,
dengan berbagai tujuan antara lain, untuk memohon hujan, menjamin sumur
penuh air, untuk menghormati makam keramat, membuang bahaya penyakit
atau mencegah musibah, adapun bentuknya berupa tarian dan nyanyian yang
diiringi musik.
Daerah-daerah yang mempunyai kesenian ini menyebar di wilayah Madura
bagian timur. Batuputih terdapat ritus rokat dangdang, rokat somor,
rokat bhuju, rokat thekos jagung. Di Pasongsongan terdapat sandhur
lorho’. Di Guluk-guluk terdapat sandhuran duruding, yang dilaksanakan
ketika panen jagung dan tembakau, berupa nyanyian laki-laki atau
perempuan atau keduanya sekaligus tanpa iringan musik. Musik langsung
dimainkan oleh peserta dengan cara menirukan bunyi dari berbagai alat
musik. Di lingkungan masyarakat tradisional yang masih mempercayai
ritual sandhur panthel yang diguna kan sebagai media penghubung dengan
sang pencipta. Namun ritual ini sebenarnya bertentangan dengan agama
Islam dan tidak pula diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, jadi
ini merupa kan suatu bid’ah dan haram hukumnya jika dilaksanakan.
Berbagai bentuk kesenian adalah aset kekayaan budaya lokal yang
akan mampu melindungi anak bangsa dari berbagai hantaman budaya global.
Pengaruh budaya global memang saat ini demikian gencarnya, mengalir dari
berbagai pintu media massa, sehingga menyebabkan generasi muda
kehilangan jati dirinya. Kekayaan seni budaya yang dimiliki oleh suku
bangsa di Indonesia lambat laun akan punah, hal itu disebabkan oleh
ketidakacuhan dari berbagai unsur, baik pihak pemerintah daerah,
instansi pemerintah, tokoh formal maupun informal, masyarakat ataupun
kaum generasi muda. Namun yang sangat penting untuk diperhatikan dalam
hal ini, apakah budaya itu pantas atau sesuai dengan ajaran agama
Islam...!?? Jika tidak sesuai, maka budaya itu tidaklah wajib
dilestarikan.
Keempat, seni pertunjukan berupa kerapan sapi dan
topeng dalang. Perlombaan memacu sapi pertama kali diperkenalkan pada
abad ke 15 (1561 M) pada masa pemerintahan Pangeran Katandur di keraton
Sumenep. Permainan dan perlombaan ini tidak jauh dari kaitannya dengan
kegiatan sehari-hari para petani, dalam arti permainan ini mem berikan
motivasi kepada kewajiban petani terhadap sawah ladangnya dan disamping
itu agar petani meningkatkan produksi ternak sapinya.
Namun, perlombaan kerapan sapi kini tidak seperti dulu lagi dan
telah disalahgunakan sehingga lebih banyak mudharat daripada manfaatnya.
Masalahnya banyak di antara para pemain dan penonton yang melupakan
kewajibannya sebagai hamba Allah SWT, yakni mereka tidak lagi mendirikan
shalat (Lupa Tuhan, ingat sapi). Kerapan sapi memang telah menjadi
identitas, trade mark dan simbol keperkasaan dan kekayaan aset
Kebudayaan Madura. Di sektor pariwisata, kerapan sapi mempakan pemasok
utama Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD), karena dari sektor
ini para wisatawan mancanegara maupun domestik datang ke Madura untuk
menyaksikan kerapan sapi.
Namun sangat disayangkan karena yang terjadi saat ini, para wisatawan
mancanegara maupun domestik sudah sedikit mau datang untuk menonton
perlombaan kerapan sapi, hal ini disebabkan karena mereka melihat adanya
penyiksaan terhadap binatang dengan memberikan sesuatu benda tajam dan
lainnya kepada sapi, agar sapinya berlari lebih kencang dan menjadi
pemenang. Selain itu, tidak sedikit dari penonton yang menjadikan
perlombaan kerapan sapi sebagai arena pertaruhan judi. Maka pantaskah
budaya ini terus dilestarikan lagi, jika begini jadinya..??
Seni pertunjukan selanjutnya adalah topeng dalang, konon topeng
dikatakan sebagai kesenian yang paling tua. Adapun bentuk topeng yang di
kembangkan di Madura berbeda dengan topeng yang ada di Jawa, Sunda dan
Bali. Topeng Madura pada umumnya lebih kecil bentuknya dan hampir semua
topeng diukir pada bagian atas kepala dengan berbagai ragam hias. Ragam
hias yang paling populer adalah hiasan bunga melati. Adapun penggambaran
karakter pada topeng dalang selain tampak pada bentuk muka juga dalam
pemilihan wama, untuk tokoh yang berjiwa bersih digunakan wama putih,
wama merah untuk tokoh tenang dan penuh kasih sayang, wama hitam untuk
tokoh yang arif dan bijaksana bersih dari nafsu duniawi, kuning emas
untuk tokoh yang anggun dan berwibawa, wama kuning untuk tokoh yang
pemarah, licik dan sombong.
Setiap pementasan topeng dalang seluruh pemainnya didominasi
laki-laki, penari sebanyak kira-kira 15-25 orang dalam lakon yang
dipentaskan semalam suntuk, adapun aksesoris nya adalah taropong,
sapiturung, ghungseng, kalong, rambut dan badung. Sedangkan untuk
pemeran wanita aksesoris tambahannya adalah berupa sampur, kalung ular,
gelang dan jamang. Teater topeng dalang Madura adalah satu-satunya
teater tradisional yang mampu menaikkan pamor seni tradisi. Di era tahun
80-an sampai dengan tahun 90-an topeng dalang Sumenep melanglang buana
sampai ke benua Amerika, Asia dan Eropa, kota-kota besar yang disinggahi
adalah London, Amsterdam, Belgia, Perancis, Jepang dan New York.
Penampilan seni tradisional ini mampu memikat, memukau dan menghipnotis
serta menimbulkan decak kagum para penonton, begitu hangat sam butan
masyarakat intemasional terhadap kesenian topeng dalang.
Namun sangatlah disayangkan, kekaguman yang pemah dibangun oleh para
dalang di masa lalu, saat ini mulai pudar karena tidak adanya peminat,
kesenian ini mulai berkurang terutama di masyarakat perkotaan, karena
dianggap ketinggalan zaman. Saat ini pementasannya hanya dilakukan di
daerah pinggiran yang masih peduli dan mencintai kesenian ini. Seni
teater tradisional yang dimiliki suku bangsa Madura menunjukkan betapa
tinggi nilai budaya yang dimiliki oleh suku bangsa ini. Nilai-nilai
adiluhur yang berlandas kan nilai keagamaan, seharusnya diperkenalkan
kembali kepada generasi penerus sebagai pemilik sah atau pewaris budaya.
Apalagi regenerasi serta pelestarian dikemas dalam bentuk yang luwes
dan fleksibel sesuai dengan perkembangan yang ada. Sebagaimana wali
songo menjadikan media kesenian sebagai sarana dakwah tanpa kehilangan
nilai-nilai filosofi serta jati diri.
Maka dengan demikian, pihak Pemerintah Daerah, masyarakat dan
khususnya generasi muda pelajar saat ini haruss menjadi tonggak sebagai
pelestari budaya daerah Madura, agar budaya yang telah ada tidak hilang
atau punah dan akan terus menjadi kebanggaan bangsa. Namun budaya itu
juga harus sesuai dan tidak lepas dari norma atau aturan agama Islam,
sehingga tidak termasuk budaya yang tidak diperbolehkan dan haram
menurut agama.
Budaya Madura Beda dengan Jawa
Madura
adalah nama pulau yang terletak di sebelah utara Jawa Timur. Pulau
Madura ini besarnya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil dari pulau
Bali), dengan penduduk sebanyak 4 juta jiwa. Madura dibagi menjadi 4
kabupaten, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Bangkalan
berada di ujung paling barat pulau Madura dan saat ini telah dibangun
jembatan terpanjang di Indonesia, jembatan Suramadu (Surabaya-Madura),
merupakan salah satu kawasan perkembangan Surabaya, serta tercakup dalam
Gerbangkertosusila. Dan uniknya Sumenep yang merupakan salah satu
kabupaten di Madura selain terdiri dari wilayah daratan, terdiri pula
dari kepulauan yang berjumlah 126 pulau.
Meski
kebanyakan wilayah yang termasuk kawasan Madura adalah kepulauan, namun
Madura tetap memiliki kebudayaan tersendiri. Budaya Madura berbeda
dengan budaya Jawa. Kebudayaan Madura yang bersumber dari kraton,
sedikit banyak terpengaruh oleh kebudayaan kraton Jawa. Baik dalam
bidang seni, tari, macopat, bahasa, ataupun gending-gending gamelan.
Namun hal ini bukan berarti Madura tidak memiliki akar budaya sendiri.
Perbedaan
yang cukup mencolok dapat terlihat dalam kehidupan keseharian, sifat
orang Madura yang lebih egaliter dan terbuka, berbeda dengan sifat orang
Jawa yang mempunyai sifat “ewuh pakewuh“. Dalam hal mencari
rezeki pun, orang-orang Madura sejak masa lalu sudah berani merantau ke
luar pulau. Hal ini terbukti dengan banyaknya orang Madura yang tersebar
hampir di seluruh penjuru Negeri bahkan sampai-sampai di luar negeri
pun ada.
Masyarakat
Madura dikenal juga memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan
stigmatik. Istilah khas disini
menunjukkan bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural
yang tidak serupa dengan etnografi komunitas etnik lain.
Kekhususan-kultural ini antara lain tampak pada ketaatan, ketundukan,
dan kepasrahan mereka kepada empat figur utama dalam kehidupan yaitu Buppa,
Babu, Guruh, ban Ratoh (Ayah, Ibu, Guru dan Pemimpin Pemerintahan).
Selain
itu pula Madura masih memiliki beberapa nilai budaya yang perlu untuk
dilestarikan dan dikembangkan. Diantaranya adalah ungkapan-ungkapan
seperti: “Manossa coma dharma“, ungkapan ini menunjukkan
keyakinan akan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa. “Abhantal ombha’
asapo’ angen, abhantal syahadad asapo’ iman“, menunjukkan akan
berjalin kelindannya budaya Madura dengan nilai-nilai Islam. ” Bango’
jhuba’a e ada’ etembang jhuba’ a e budi “, lebih baik jelek di
depan daripada jelek di belakang. “Asel ta’ adhina asal“,
mengingatkan kita untuk tidak lupa diri ketika menjadi orang yang sukses
dan selalu ingat akan asal mula keberadaan diri. “Lakonna lakone,
kennengngana kennengnge” sama halnya dengan ungkapan “The right
man in the right place“. “Pae’ jha’ dhuli palowa, manes jha’
dhuli kalodu“,
nasehat agar kita tidak terburu-buru mengambil keputusan hanya
berdasarkan fenomena. Kita harus mendalami akar permasalahan, baru
diadakan analisis untuk kemudian menetapkan kebijakan. “Karkar colpe’“,
bisa dikembangkan untuk menumbuhkan sikap bekerja keras dan cerdas,
apabila kita ingin menuai hasil yang ingin dinikmati.
Keunikan
yang lain dari budaya Madura adalah pada dasarnya dibentuk dan
dipengaruhi oleh kondisi geografis dan topografis masyarakat Madura yang
kebanyakan hidup di daerah pesisir, sehingga mayoritas penduduk Madura
memiliki mata pencaharian sebagai nelayan.
Jenis-jenis kebudayaan Madura
1. Kebudayaan Macopat (Mamaca)
Macopat atau juga ada yang menyebutnya dengan mamaca, merupakan
kebudayaan madura yang juga bisa dikategorikan berbentuk kesenian.
Tembang yang ditulis dengan bahasa jawa ini dilantunkan dengan
syair-syair tertentu, atau juga yang dikanal dengan istilah tembeng.
Biasanya dalam pembacaan macopat ini terkadang diringi dengan alunan
musik, dan yang sering dengan menggunakan seruling.
2. Ritual Ojung
Pelaksanaan ritual Ojung dalam bentuknya sejenis permainan yang
melibatkan dua orang untuk beradu fisik dengan dilengkapi media rotan
berukuran besar sepanjang 1 meter sebagai alat memukul.ritual ini
biasanya diselenggarakan agar segera turun hujan dan terhindar dari
malapetaka akibat kekeringan musim kemarau.Dan biasanya diiringi dengan
musik yang jarang dijumpai di daerah lain yang terdiri dari 3 buah
dung-dung (akar pohon siwalan) yang dilubangi di tengahnya sehingga
bunyinya seperti bas, dan kerca serta satu alat musik kleningan sebagai
pengatur lagu.
3. Kebudayaan Rokat Tase’ (Petik Laut)
Tradisi ” Rokat Tase’ ” dilakukan untuk mensyukuri karunia serta
nikmat yang diberikan oleh sang maha pencipta yaitu Allah SWT. Dan juga
agar diberikan keselamatan dan kelancaran rezeki dalam bekerja.Ritual
atau tradisi tersebut, biasanya dimulai dengan acara pembacaan
istighotsah dan tahlil bersama oleh masyarakat yang dipimpin oleh pemuka
agama setempat.Setelah itu, masyarakat melepaskan sesaji ke laut
sebagai rasa ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun isi dari
sesaji itu adalah ketan-ketan yang berwarna-warni, tumpeng, ikan-ikan,
dan lain sebagainya. Ritual atau tradisi tersebut disebut ” Rokat Tase’ ”
oleh penduduk setempat.
4. Kebudayaan Okol
Okol, istilah warga Madura untuk menyebutkan olahraga gulat
tradisional.Tradisi okol biasa dilakukan pada saat musim kemarau
berkepanjangan melanda. Namun apabila kita lihat baik dari tujuan maupun
pelaksanaannya okol hampir sama dengan kebudayaan ojung
5. Kebudayaan Rokat
Kebudayaan Rokat yang ada di Madura dilakukan dengan maksud jika
dalam suatu keluarga hanya ada satu orang laki-laki dari lima
bersaudara (pandapa lema’), maka harus diadakan acara Rokat. Acara Rokat
ini biasanya dilaksanakan dengan mengundang topeng (nangge’ topeng)
yang diiringi dengan alunan musik gamelan Madura dan sembari dibacakan
macopat (mamaca).