Sekaten dari kata Sekati
Sekaten, atau pasar malam yang biasa
dilakukan menjelang Maulid Nabi Muhammad SAW, selepas dari makna agamis
ternyata memiliki banyak arti jika kita dapat mencermati makna di
dalamnya secara mendalam. Saat ini sekaten hanya dianggap sebagai wahana
hiburan bagi rakyat kecil oleh penguasa serta cara memdapat berkah dari
penguasa dengan berebutan dalam acara gunungan.Namun, pada dasarnya
kedua makna tersebut benar hanya terkadang kita kurang memahami makna
didalam dari kedua makna tersebut.
Berikut akan saya jabarkan pemaknaan menurut diri saya yang
lebih dari itu:
- Sekaten merupakan wahana hiburan bagi rakyat, karena terdapat berbagai hiburan yang murah meriah dan terjangkau bagi semua kalangan. Selain itu ragam hiburan juga bermacam-macam
- Sekaten dapat menumbuhkan keluarga harmonis. Stand yang beragam dan juga dapat dinikmati oleh berbagai kalangan akan membuat banyak keluarga yang tadinya jarang keluar dari rumah untuk rekreasi menjadi pergi keluar dan di sekaten mereka dapat saling berinteraksi dalam keluarga akan apa yang mereka ingini masing-masing, dengan demikian dalam keluarga itu jadi tahu seperti apa kemauan anggota keluarganya. hal ini dapat membuat keluarga jadi tambah harmonis.
- Sekaten sebagai ajang sosialisasi antar rakyat, baik yang tua maupun muda. Stand yang beragam dan banyak dikunjungi akhirnya dapat membuat orang yang tadinya tidak saling kenal menjadi mengenal satu sama lain. Dengan demikian, orang tersebut akan memperoleh banyak teman dan berbagai sifat serta daerah asal, karena kita tahu sekaten dapat mendatang kan orang dari luar kota sekalipun.
- Sekaten merupakan tanda syukur. Dalam sekaten diadakan suatu pembagian gunungan dari penguasa ke rakyat. Ini selain sebagai simbol bahwa penguasa juga memperhatikan rakyat, juga sebagai simbol bahwa penguasa bersyukur atas rakyatnya yang selalu mendukung pemerintahannya baik dalam bentuk pujian ataupun kritikan.
Namun, menurut saya keseluruhan,
inti sekaten itu terdapat pada puncak acaranya sendiri yaitu saat
gunungan di keluarkan, gamelan dibunyikan dan saat Maulid Nabi Muhammad
SAW (kelahiran Nabi Muhammad).
Sekaten
sebagai tanda kemakmuran. Hal ini dapat di tinjau dari komponen
gunungan yang dibuat serta dari asal kata sekaten itu sendiri. Sekaten
itu sendiri sebenranya dari kata Sekati, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kati itu berarti ukuran bobot yang berukuran 6,25 ons dan
biasa digunakan untuk mengukur beras ketika akan di masak. Dahulu orang
jika membeli beras memakai ukuran ini dengan penakar adalah setengah
tempurung kelapa. Jika kita tinjau lebih dalam, Sekati berarti satu kati
atau 6,25 ons, dan jika menanak nasi sebanyak 6,25 ons beras itu
berarti dapat mencukupi kebutuhan hidup satu keluarga dalam satu hari.
Dengan demikian keluarga tersebut tidak kekurangan. Selain dari kata
sekati, komponen dari gunungan juga bermacam-macam dan biasanya adalah
bahan kebutuhan sehari-hari. Bahan kebutuhan sehari-hari atau sembako
itu juga merupakan salah satu penopang hidup dan kemakmuran dalam sebuah
keluarga. Selain sembako juga ada papan atau kayu serta kain yang turut
di ambil, kedua bahan ini mewakili dari sandang dan papan yang
dibutuhkan oleh tiap insan.
Pada saat gunungan dikeluarkan
juga dibunyikan gamelan sekaten atau gamelan sekati. Gamelan merupakan
sebuah seni musik dan mewakili seni yang lain. Ini berarti selain bahan
pangan, sandang dan papan, juga manusia dianggap akan makmur bila dapat
menikmati atau memiliki suatu rasa seni, salah satunya seni musik. Tidak
hanya itu, Hari Maulid Nabi Muhammad SAW pun adalah saat dimana
gunungan di keluarkan, ini berarti bahwa segalanya itu tidak akan
mengalami kemakmuran jika kita tidak mengenal suatu agama dan Tuhan yang
memberikan segalanya untuk kita.
Sehingga dengan demikian, pada
hemat saya para penguasa dan jaman dahulu memandang bahwa suatu
kemakmuran itu tercipta apabila unsur Pangan, Sandang, Papan, Seni dan
Rohani itu tercukupi dan dalam keadaan yang seimbang. Keseimbangan
tersebut dapat diambil dari kata sekati karena dengan beras sekati satu
keluarga dapat melakukan berbagai pekerjaannya pada satu hari itu.
Sekali lagi pemaknaan
tersebut menurut tafsiran saya sendiri, maaf jika ada salah kata.
Semoga bermanfaat,
Terima kasih.
Malam 1 Suro, Jamasan dan Tapa Bisu
Pada malam 1 suro, malam tahun baru kalender
Jawa, di bumi Yogyakarta dan Surakarta terdapat beberapa kemiripan
tradisi. Tradisi tersebut adalah Jamasan Pusaka dilanjutkan kirab
pusaka, dan juga Tapa Bisu. Tradisi tersebut biasanya dilakukan pada
malam hari.
Mungkin sekarang sedikit
masyarakat yang mengetahui makna dibalik dari tradisi tersebut kecuali
hanya sebagai ritual malam 1 suro. Sebetulnya jika kita telaah lebih
dalam, dalam 2 ritual atau kegiatan tersebut terdapat makna yang cukup
mendalam terlebih untuk menyambut datangnya tahun baru. Dalam hal ini
tahun baru yang di sambut merupakan tahun baru Jawa.
Nah, disini saya mencoba
untuk berbicara sedikit mengenai makna-makna dari ritual tersebut sejauh
yang saya pahami.
1. Jamasan Pusaka
Jamasan Pusaka merupakan suatu kegiatan yang
bertujuan untuk membersihkan pusaka-pusaka yang dimiliki seseorang.
Sebetulnya dalam jamasan itu, bukan hanya pusaka yang nampak yang harus
dibersihkan, namun juga pusaka yang tidak nampak. Pusaka yang nampak
dapat berupa Keris, Tombak, Panah, Pedang, Pistol, atau apapun.
Sedangkan pusaka yang tidak nampak itu adalah hati.
kenapa perlu di
bersikan?
Pusaka-pusaka tersebut
perlu di bersihkan agar selalu siap digunakan setiap saat. Jika jarang
di bersihkan, pusaka tersebut akan menjadi berkarat dan ketika di
butuhkan unuk sesuatu, ia sudah tidak layak di gunakan.
Begitu pula dengan hati,
ia harus kita bersihkan dari segala dendam dan kotoran yang ada, karena
hati selalu kita gunakan setiap saat. Apabila jarang kita bersihkan,
maka kita juga yang rugi, kepekaan kita terhadap lingkungan tertutup
karena kotoran-kotoran duniawi. Oleh karena itu, pada setiap malam tahun
baru suro diadakan intropeksi diri dalam bentuk tapa bisu.
2. Tapa Bisu
Merupakan rangkaian dalam ritual yang dimana
setiap peserta tidak boleh berbicara hingga acara selesai. Biasanya
acara tersebut mengkirab pusaka keraton keliling keraton. Pada prosesi
tapa bisu ini, peserta juga diharapkan untuk tidak mengenakan alas kaki.
Sebetulnya jika saya pahami lebih dalam, tujuan dari tapa bisu ini
merupakan suatu acara berintropeksi diri terhadap berbagai tindakan dan
pikiran yang telah tercipta selama satu tahun tersebut.
mengapa tanpa alas
kaki?
Tidak memakai alas kaki karena diharapkan saat
berintropeksi tersebut kita dapat menyatu dengan alam, dan juga membuang
setiap enegi negatif yang ada di dalam diri tersbut ke bumi untuk di
netralkan. Dengan kaki telanjang pula kita juga dapat merasakan bahwa
sesungguhnya kehidupan itu tidaklah mulus walau berbagai upaya telah di
lakukan. Sama seperti jalan yang dilalui tidak ada semulus yang kita
kira walau telas di aspal dengan baik.
Oleh karena itulah,
melalui jamasan pusaka dan tapa bisu keraton berpengharapan agar dalam
memulai tahun yang baru kita juga dapat mulai dari bersih dan dengan
semangat yang baru pula untuk menjadi semakin baik dengan memperbaiki
apa yang belom baik pada tahun sebelumnya. Serta untuk menyiapkan kita
akan berbagai situasi yang datang tanpa rencana baik oleh alam maupun
oleh manusia sendiri.
Semoga dengan ini kita
semakin sadar bahwa tradisi itu baik untuk kita teruskan. Karena setiap
tradisi yang ada, pastilah ada makna kehidupan di dalamnya.
Kamis, 23 September 2010
Dimanakah Tuhan?
Pertanyaan "dimanakah Tuhan" merupakan
pertanyaan simpel namun cukup sulit untuk dimengerti jika itu di
tujukan kepada kita, orang beragama. Agama menyebutkan tempat ibadah itu
merupakan rumah Tuhan. Namun apa itu benar dan tepat? Jika iya, berarti
Tuhan ahanya berada disana saja dong. Jikapun tidak, kenapa setiap kita
beribadah selalu kesana?
Pertanyaan tersebut mungkin juga akan kita
tujukan kepada orang lain jika mereka tampak kurang beragama. misalnya:
"dimanakah Tuhanmu?".
Disini saya akan sedikit menjawab dan
mengulas tentang pemahaman orang Jawa ketika mendapat pertanyaan
tersebut melalui sebuah kisah nyata yang sudah lama terjadi. Kita anggap
saja orang Jawa yang memegang tradisi tersebut dengan inisial 'A' dan
orang yang beragama dengan inisial 'B'.
Suatu hari, A
melakukan sebuah ritual di dalam kamarnya dan dengan hening. Dia tidak
melakukan ritual yang cukup tidak biasa bagi kita saat ini. Melalui
kemenyan dan dupa, dia mendupai dan menaruh tempat pembakaran tersebut
di pangkuannya dengan berdoa dan mengarahkan asap menyan yang harum
tersebut ke tubuhnya.
Karena baunya sangat khas, maka si B mulai
curiga dan bertanya-tanya akan maksud dari ritual tersebut. Setelah si A
selesai melakukan ritual, si B langsung mendekati dan bertanya kepada
si A. Demikian percakapan mereka berdua:
B: "Eyang tadi
sedang melakukan apa?
A: "Sedang
sembahyang, (beribadah). Ada apa?"
B: "Kalau beribadah, kenapa eyang mendupai diri eyang
sendiri?"
A: "Kalau kita
beribadah, kita menyembah dan berkomunikasi kepada siap?"
B: "Kepada Tuhan."
A: "Terus dimanakah Dia berada?"
B: ...........Diam termenung............
"dirumah ibadat?"
A: "Tuhan itu
tidak berada di rumah ibadat dan tidak berada di mana-mana, termasuk
pohon besar ataupun batu"
B:
"lalu dimana?"
A: "Dia selalu
berada di hati dan diri kita. Oleh sebab itu, aku selalu mendupai diriku
sendiri, karena saat itu aku berarti menyembah, menghaturkan wewangian,
dan berkomunikasi dengan Tuhan."
B:
"O begitu ya...."
Terkadang kita orang beragama yang dengan
jelas di terangkan dalam kitab suci lupa jika Tuhan itu berada dalam
diri kita. Namun, mereka yang berkeyakinan Jawa dan berdoa berdasarkan
pengalaman justru lebih memahami di manakah Tuhan itu. Jika kita seperti
A, dimanapun berada kita akan selalu ingat jika Tuhan selalu beserta
kita, selalu menjaga kita, selalu mendampingi kita, dan kita pun akan
semakin merasakan cinta-Nya yang turun ke kita. Dari rasa tersebut
tentunya kita akan semakin berhati-hati dalam setiap bertindak dan
berucap, karena kita bertindak dan berucap bukan hanya menyertakan diri
kita sendiri namun kita juga menyertakan Tuhan yang bersemayam dalam
diri kita.
Semoga dengan ini kita semakin diingatkan
jika Tuhan selalu bersemayam dalam diri kita dan beserta kita. Jalanilah
hidup yang baik dan seturut kehendaknya dengan mencintai sesama dan
alam, karena dengan demikian berarti kita telah bekerja dan menjalani
hidup bersama Tuhan.
Sekian.
Rabu, 28 Juli 2010
Pentingnya Menghargai Kearifan Lokal
Belakangan ini sering kita mendengar bahkan mungkin
merasakan sendiri jika berbagai bencana alam sering singgah di bumi
Nusantara ini. Mulai dari bencana banjir, gempa bumi, longsor hingga
tsunami. Mungkin dari bencana tersebut yang sring kita dengar adalah
gempa bumi dan banjir yang hampir di setiap pelosok Nusantara dapat
mengalaminya. Bencana tersebut tidaklah pandang bulu, segla sesuatu yang
menghalangi pergerakannya dilahapnya. Sehingga kita tidaklah dapat
melawan bencana, kita hanya mampu mencegah dan menanggulangi atau
memperkecil dampak dari kerusakan yang ada.
Ternyata
usaha tersebut telah di pelajari secara tidak langsung oleh para
leluhur kita dahulu. Mungkin sekarang sedikit yang mengetahui dengan
pasti apa saja usaha-usaha penanggulangan tersebut, begitu pula dengan
saya. Namun, lambat laun saya sedikit mengetahuinya dan saya mendapatkan
pengetahuan tersebut juga tidaklah secara langsung melainkan melalui
pemberitaan dari televisi, seringnya saya mendapati tempat-tempat yang
masih melestarikan tradisi dan juga dari pembicaraan orang-orang tua
yang masih hidup saat ini.
Baik, saya akan coba
mulai berbagi mengenai kearifan lokal atau mungkin budaya dan
pengetahuan lokal Jawa.
Saya akan memberikan
gambaran tentang lempeng benua
dalam arti orang Jawa jaman dahulu. Orang Jawa jaman dulu tidaklah
mengetahui ilmu geologi barat, mereka juga tidak memiliki kapa selam
yang mampu menyelam hingga ke dasar samudra seluruh Nusantara. Namun,
tanpa kita sadari, orang Jawa dahulu pernah mengatakan atau beranggapan
jika bumi Nusantara ini di topang oleh 3 naga besar yang melintang dan
membujur serta letaknya mirip dengan letak ketiga lempeng yang berada di
Indonesia saat ini. Maaf untuk namanya tiap naga saya lupa. Selain itu,
mereka juga beranggapan jika ketiga naga tersebut bertemu di daerah
Maluku. Serta, setiap kali ada gempa mereka juga beranggapan jika salah
satu naga tersebut sedang mengoletkan tubuhnya. Dari sini kita sudah
dapat memahami jika orang Jawa dulu telah mengetahui bagaiman gempa bumi
itu terjadi dan pola pergerakannya.
Dari
pengetahuan dan anggapan tersebut, maka orang Jawa selalu berusahan
membangun bentuk rumah atau bangunan yang memiliki kerusakan terkecil
jika terkena bencana gempa bumi yaitu rumah berbentuk Joglo. kenapa saya
juga beranggapan demikian? Itu karena saya melihat rumah-rumah Joglo asli jaman dahulu itu tidak
menggunakan paku, hanay menggunakan pasak untuk mengambung tiap bagian.
Selain itu, Joglo juga memiliki 4 pilar utama pada bagian tengah rumah
yang di hubungkan dengan kayu yang juga hanya di masuk masukkan serta
ujungnya di lebihkan. Pada mulanya melihat bangunan tersebut saya
bingung untuk apa sisa kayu yang menonjol keluar hingga suatu saat saya
memiliki anggapan jika itu untuk toleransi pergerakan guncangan rumah
jika sedang terkena gempa bumi. kita pun tahu jika dengan pasak maka
tingkat toleransi antar sambungan lebih tinggi dari pada menggunakan
paku.
Selain dari model pilar bangunan, penempatan
bangunan juga, yaitu bangunan Joglo juga hanya menempatkan cakar ayam
hanya pada pilarnya saja sehingga rumah bangunan tersebut akan mudah
menyesuaikan goncangan gempa dengan tujuan untuk memperkecil resiko
runtuhnya bangunan. Serta bentuk bangunan yang terbuka lebar juga
membuat para penghuni mudah keluar jika terjadi suatu bencana alam.
Model bangunan yang disesuaikan dengan keadaan alam dan
bencana yang banyak berkunjung bukan saja di tanah Jawa namun juga di
berbagai daerah penjuru Nusantara lainya. Misalnya orang Kalimantan
membuat rumah panggung yang tinggi dengan tujuan agar ketika terjadi
pasang atau banjir besar rumah tersebut tetap kering karena kit pun tahu
jika Kalimantan dikelilingi suangai-sungai besar. Kemudian saya juga
pernah mendengar rumah Sunda yang terdiri atau terbuat dari bambu dengan
tujuan jika rumah tersebut terkena gempa dan rusak mereka dapat dengan
mudah untuk mengembalikannya ke bentuk rumah.
Selasa, 20 Juli 2010
Seni itu Pribadi Pemiliknya
Seni itu pribadi pemiliknya, ungkapan ini terpikirkan setelah saya menonton pertunjukan SIEM dan SIPA pada bulan ini. mengapa saya berpikiran seperti itu, karena setelah menonton pertungjukan-pertunjukan tersebut saya seperti berada di suasana daerah dimana kesenian tersebut berada dan mengerti seperti apa kepribadian dari daerah-daerah tersebut. Selain itu, saya juga beranggapan jika setiap kesenian itu muncul dari suatu kepribadian masyarakat setempat.Dalam hal ini saya memberi beberapa contok yang begitu terlihat yaitu antara orang Sumatera dengan orang Jawa. Dimata orang Jawa, orang Sumatera nampak begitu tegas dan cepat dalam setiap saat dan segala sesuatu diutarakan secara langsung, dan hal tersebut juga saya lihat dalam bebagai bentuk lagu dan tarian yang berasal dari sana yang sebagian besar bertempo tegas. Berbeda dengan orang Jawa yang di mata orang Sumatera lemah lembut, kesenian yang berasal dari jawapun terlihat pelan dan lembut.
Okey, disini saya akan mencoba membahas lebih lanjut bagaimana saya beranggapan jika Seni itu Pribadi Pemiliknya. Namun, tetap saja saya menulis dalam lingkup kesenian dan budaya yang berada di Jawa.
Seni Sastra
Seni sastra yang saya maksud dalam hal ini meliputi bentuk tulisan dan bahasa. Jika kita melihat bentuk tulisan jawa, disana terlihat suatu bentuk yang terluhat polos namun juga detail dan melengkung. Sehingga dari tulisan tersebut, kita dapat mengatakan jika untuk menulis saja harus membutuhkan kelembutan dan keuletan serta detail agar dapat menghasilkan bentuk seperti itu. Ini bukan berarti tidak ada ketegasan dalam diri orang Jawa, karena jika kita cermati kembali, tetap ada unsur-unsur ketegasan yang terselip dalam tulisan tersebut. Yah bagi saya orang Jawa memiliki suatu ketegasan tersembunyi di balik kelembutannya.
Kemudian dari segi bahasa. orang Jawa sendiri memiliki bahasa yang beragam sesuai kalangan dimana mereka sedang berada dan berbicara (secara garis besar dibagi dua, yaitu Ngoko dan Krama). dalam hal ini kita juga dapat menyimpulkan jika orang Jawa mampu beradaptasi dan tahu diri dimana mereka berada dan berhadapan. Dihadapan para petinggi, mereka tetap menghormati sedangkan di hadapan anak buah mereka juga dapat dihormati. Namun, terkadang kita sering lupa akan posisi-posisi kita berada karena kita terbiasa dengan 1 bahasa untuk segala hal. Saat sekarang ini, jika kita jadi bawahan, kita sering memposisikan diri kita menjadi bawahan dimana-mana walaupun itu di depan anak atau bawahan kita saat kita telah naik jabatan. dan juga sebaliknya saat jadi atasan kita sering memposisikan diri juga menjadi atasan dimana kita berada tanpa melihat siapa yang sedang kita hadapi. Bagi saya orang Jawa telah mampu memposisikan diri dimana mereka berada, melalui tutur kata dan bahasa mereka.
Seni Tarian
Jika kita memperhatikan tarian Jawa disana sering terdapat perbedaan tempo atau ketukan. Pada awal suatu tarian, tempo lambat kemudian bergerak cepat dan menegas, dan melambat kemudian. Disini kita dapat melihat jika orang Jawa itu lebih melihat suatu proses dalam kehidupan manusia. Orang Jawa sadar jika menuju suatu puncak keberhasilan tertinggi manusia itu perlu suatu perjalanan panjang dan pelan (tempo lambat pada awal) dan kemudian kita akan mengalami keberhasilan kita dalam jalani kehidupan apakah menyenangkan terhadap diri kita ataupun tidak (tempo cepat dan tegas) setelah kita berhasil, kita akan mengalami kehidupan tua untuk mengakhiri keberhasilan tersebut, dan sebaiknya kita mengakhirinya secara pelan agar kita tidak merasakan begitu kehilangan terhadap keberhasilan tersebut (tempo melambat kembali). Selain itu, dalam kehidupan kita, juga diperlukan ketegasan yang kita selipkan dalam proses tersebut agar keberhasilan tersebut sesuai keinginan kita (gerakan-gerakan tegas dalam tarian yang sedikit-sedikit dikeluarkan penari). Inilah yang menarik bagi saya karena saya melihat bahwa dalam setiap kelembutan tarian Jawa ternyata terdapat suatu ketegasan dan pelajaran dalam memaknai kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar